Mencari Formula Damai Yaman
Upaya mencari jalan keluar bagi konflik Yaman kembali mengemuka seiring kebuntuan politik dan keamanan yang terus berlarut. Sejumlah skenario mulai dibahas, dengan mengadopsi model-model yang pernah diterapkan di negara konflik lain, namun disesuaikan dengan realitas sosial dan politik Yaman.
Salah satu formula yang kerap disebut adalah meniru model Libya melalui mekanisme militer bersama 5 + 5. Dalam model ini, lima perwira senior dari Houthi dan lima dari kubu PLC duduk dalam satu forum teknis untuk mengelola deeskalasi dan menjaga gencatan senjata.
Jika diterapkan di Yaman, pusat pertemuan tidak harus di Sanaa atau Aden yang sarat simbol politik, melainkan di wilayah netral seperti Hadramaut atau al-Mahra. Kedua kawasan ini relatif stabil dan tidak menjadi pusat kekuasaan militer utama salah satu pihak.
Model 5 + 5 berpotensi efektif dalam jangka pendek karena langsung menyasar inti konflik, yakni senjata dan komando militer. Jika komunikasi antarkomandan terbangun, risiko perang besar dapat ditekan meski konflik politik belum selesai.
Namun keterbatasan model ini terletak pada sifatnya yang sempit. Ia mampu membekukan konflik, tetapi tidak menyentuh akar persoalan politik, tata negara, dan distribusi kekuasaan yang menjadi sumber konflik Yaman sejak lama.
Alternatif kedua adalah meniru pendekatan Suriah di masa lalu melalui pembentukan Komite Konstitusi, namun dengan penyesuaian signifikan. Untuk Yaman, mekanisme ini dapat diberi nama lebih netral seperti Komite Perdamaian.
Komite tersebut dapat berpusat di Seiyun, kota simbolik di Hadramaut yang memiliki sejarah administrasi dan relatif diterima berbagai pihak. Lokasi ini juga mengurangi kesan dominasi Sanaa atau Aden.
Komposisi komite menjadi kunci utama. Sebanyak 50 anggota sipil dari kubu Houthi, 50 dari PLC, dan 50 lainnya dari perwakilan eks kesultanan seperti Quaiti, Kathiri, Lahej dll serta unsur suku dan tokoh independen dapat mencerminkan pluralitas Yaman. Kantor tetapnga bisa dibangun mirip parlemen Eropa dan gedung PBB di New York.
Model ini memberikan ruang partisipasi luas bagi aktor non-militer yang selama ini terpinggirkan oleh konflik bersenjata. Ia berpotensi membangun konsensus sosial dan politik yang lebih tahan lama dibandingkan kesepakatan elite semata.
Namun kelemahannya terletak pada waktu dan kompleksitas. Proses dialog sipil yang besar dan beragam berisiko berjalan lambat, sementara situasi keamanan di lapangan bisa berubah dengan cepat.
Alternatif ketiga yang lebih pragmatis adalah memperbesar keanggotaan PLC dengan memasukkan dua anggota Dewan Politik Ansarullah. Pendekatan ini menitikberatkan pada inklusi langsung aktor paling berpengaruh dalam struktur kekuasaan yang ada.
Dengan masuknya Houthi ke PLC, konflik dapat diturunkan ke ranah politik elit. Perang berskala nasional kemungkinan berhenti karena semua aktor utama duduk dalam satu kepemimpinan kolektif.
Namun perluasan PLC membawa risiko baru. Tanpa penyatuan komando militer, lembaga ini bisa berubah menjadi forum kompromi antar elite bersenjata, bukan pemerintah yang efektif dan berdaulat.
Dibanding tiga model tersebut, skema 5 + 5 paling realistis untuk stabilisasi awal karena fokus pada keamanan dan relatif cepat diterapkan. Tetapi model ini tidak cukup untuk membangun negara pascaperang.
Model Komite Perdamaian menawarkan solusi paling komprehensif secara politik dan sosial. Ia cocok untuk membentuk visi Yaman baru, tetapi membutuhkan situasi keamanan yang relatif stabil agar dapat berjalan.
Sementara itu, perluasan PLC merupakan jalan tengah yang paling mudah secara institusional, namun juga paling rapuh jika tidak dibarengi reformasi sektor keamanan.
Dalam konteks Yaman yang terfragmentasi, tidak satu pun model yang berdiri sendiri dapat menjawab seluruh persoalan. Banyak pengamat menilai pendekatan bertahap lebih realistis.
Tahap pertama dapat dimulai dengan mekanisme ala 5 + 5 untuk menurunkan eskalasi militer. Setelah stabilitas relatif tercapai, proses politik sipil melalui Komite Perdamaian bisa dijalankan.
Pada tahap akhir, hasil konsensus politik tersebut dapat diterjemahkan ke dalam restrukturisasi PLC atau pembentukan sistem pemerintahan baru yang lebih inklusif.
Dengan demikian, model paling cocok bagi Yaman bukan meniru satu negara secara utuh, melainkan menggabungkan unsur Libya dan Suriah dalam kerangka yang disesuaikan dengan sejarah kesultanan, struktur suku, dan realitas kekuasaan lokal.
Keberhasilan formula apa pun pada akhirnya tidak hanya ditentukan oleh desain kelembagaan, tetapi juga oleh kemauan aktor bersenjata untuk meletakkan senjata di bawah satu otoritas nasional. Tanpa itu, setiap model hanya akan menjadi jeda sementara dalam konflik panjang Yaman.
Berbagai model ini, jika sukses, bisa juga diterapkan di daerah lain seperti Gaza-Tepi Barat (Palestina), Maroko-Sahara Barat, Mali-Azawad, Afrika Tengah-Dar Al Kuti dll




Tidak ada komentar