Melihat Peta Ormas Etnis Bersenjata di India
Kelompok Kuki bisa memiliki kekuatan bersenjata di India meski mereka bukan lembaga negara karena konteks sejarah, politik etnis, konflik wilayah, dan kelemahan negara di daerah perbatasan. Fenomena ini bukan pengecualian di India Timur Laut, melainkan bagian dari pola lama.
Pertama, kawasan tempat Kuki tinggal—terutama Manipur, Mizoram, Nagaland, dan perbatasan Myanmar—sejak lama merupakan wilayah dengan kontrol negara yang lemah. Medan pegunungan, hutan lebat, dan jarak dari pusat kekuasaan membuat negara India historisnya tidak hadir secara efektif, sehingga komunitas lokal membangun sistem pertahanan sendiri.
Kedua, identitas Kuki terbentuk sebagai kelompok pejuang-perbatasan jauh sebelum India modern lahir. Pada masa kolonial Inggris, suku-suku Kuki telah dipersenjatai atau dimanfaatkan sebagai pasukan bantu dan penjaga wilayah frontier. Tradisi bersenjata ini tidak pernah sepenuhnya hilang setelah kemerdekaan India.
Ketiga, konflik etnis yang berulang menjadi faktor utama. Kuki terlibat bentrokan berkepanjangan dengan kelompok lain seperti Naga dan Meitei. Dalam situasi di mana negara dipandang tidak netral atau lamban melindungi warga, kelompok etnis merasa perlu membentuk milisi sendiri sebagai alat bertahan hidup.
Keempat, kelompok bersenjata Kuki tidak tunggal, melainkan terfragmentasi. Ada organisasi seperti Kuki National Army (KNA) atau Kuki Revolutionary Army (KRA) yang mengklaim sebagai “tentara rakyat”, bukan tentara negara. Mereka berfungsi layaknya milisi etnis, bukan angkatan bersenjata nasional.
Kelima, secara hukum mereka memang ilegal, tetapi secara politik sering berada dalam zona abu-abu. Negara India kerap memilih strategi negosiasi dan gencatan senjata (Suspension of Operations) daripada penghancuran total, karena operasi militer penuh berisiko memperluas konflik etnis.
Keenam, beberapa kelompok Kuki pernah masuk perjanjian formal dengan pemerintah India, di mana mereka tetap memegang senjata namun tidak beroperasi ofensif. Dalam praktiknya, ini membuat mereka tampak seperti “tentara semi-resmi”, meski tidak diakui sebagai lembaga negara.
Ketujuh, faktor lintas-batas memperkuat keberadaan mereka. Kuki juga hidup di Myanmar, sehingga jalur logistik, tempat berlindung, dan pergerakan pasukan sulit dikendalikan sepenuhnya oleh negara India. Ini memberi mereka kedalaman strategis layaknya aktor militer non-negara.
Kedelapan, bagi komunitas Kuki sendiri, milisi bukan sekadar kelompok bersenjata, melainkan institusi sosial dan politik. Mereka dipandang sebagai pelindung desa, simbol martabat etnis, dan alat tawar dalam negosiasi dengan negara maupun kelompok lain.
Kesembilan, situasi ini mirip dengan banyak konflik modern di mana negara lemah berhadapan dengan aktor non-negara bersenjata. Dalam kondisi seperti itu, “tentara” tidak selalu berarti institusi resmi, melainkan siapa pun yang mampu mengorganisir kekerasan secara kolektif dan berkelanjutan.
Kesepuluh, karena itu pertanyaan “mengapa Kuki bisa punya tentara padahal bukan negara” jawabannya bukan karena negara membolehkan sepenuhnya, tetapi karena negara tidak mampu atau memilih tidak memusnahkannya, dan justru mengelolanya melalui kompromi politik.
Singkatnya, tentara Kuki lahir dari kombinasi sejarah frontier kolonial, konflik etnis, kegagalan negara melindungi warganya, dan pragmatisme politik India. Selama akar konflik wilayah dan identitas belum diselesaikan, keberadaan milisi seperti ini akan terus menjadi bagian dari lanskap keamanan India Timur Laut.
Wilayah Operasi
Kuki tidak memiliki daerah otonomi resmi setingkat Bodoland, baik sebagai Autonomous Territorial Council maupun wilayah federal tersendiri. Namun, ada upaya politik dan pengaturan parsial yang sering disalahpahami sebagai otonomi.
Penjelasannya sebagai berikut.
Pertama, Bodoland berdiri di bawah kerangka konstitusi India melalui Sixth Schedule. Ia memiliki Bodoland Territorial Council (BTC) dengan kewenangan administratif, anggaran, dan hukum adat tertentu. Status ini resmi, tertulis, dan diakui penuh oleh negara.
Kuki tidak pernah memperoleh status Sixth Schedule secara kolektif. Mereka tersebar di beberapa negara bagian—terutama Manipur, sebagian Mizoram dan Nagaland—sehingga tidak memiliki satu wilayah kompak seperti Bodo di Assam.
Kedua, di Manipur, wilayah Kuki berada di distrik pegunungan yang hanya memiliki Autonomous District Councils (ADC). Dewan ini jauh lebih lemah dibanding BTC Bodoland: kewenangannya terbatas, anggarannya kecil, dan sangat tergantung pada pemerintah negara bagian Manipur.
Bagi banyak orang Kuki, ADC bukan otonomi sejati, melainkan administrasi setengah hati yang tidak mampu melindungi kepentingan politik dan keamanan mereka.
Ketiga, karena keterbatasan itu, tuntutan politik Kuki berkembang ke arah otonomi teritorial penuh, bahkan negara bagian terpisah. Muncul konsep “Kukiland” atau “Kuki Territorial Council” yang meniru model Bodoland, tetapi hingga kini tidak pernah disetujui Delhi.
Keempat, pemerintah India sangat berhati-hati memberi otonomi teritorial kepada Kuki karena konsekuensi etno-politik. Memberi Kuki wilayah otonomi di Manipur akan langsung memicu penolakan keras dari Meitei (di lembah) dan Naga (di perbukitan), yang juga memiliki klaim wilayah.
Kelima, berbeda dengan Bodo yang relatif terkonsentrasi secara geografis, komunitas Kuki terfragmentasi dan sering hidup berdampingan atau tumpang tindih dengan etnis lain. Ini membuat penetapan batas otonomi menjadi sangat sensitif dan rawan konflik baru.
Keenam, sebagai gantinya, negara India memilih pendekatan keamanan + politik lunak: perjanjian gencatan senjata (Suspension of Operations) dengan kelompok bersenjata Kuki, pengakuan adat lokal, dan perwakilan politik terbatas, tanpa memberi status teritorial resmi.
Ketujuh, inilah sebabnya Kuki bisa memiliki milisi, struktur politik internal, dan pengaruh lokal, tetapi tanpa payung konstitusional seperti Bodoland. Secara de facto mereka punya kekuasaan di beberapa wilayah, tetapi de jure tidak punya otonomi.
Kedelapan, dalam praktik konflik, kondisi ini justru memperlemah posisi Kuki. Tanpa status otonomi resmi, mereka sering merasa negara tidak melindungi mereka, sementara negara melihat mereka hanya sebagai aktor non-negara, bukan mitra konstitusional.
Kesimpulannya, Kuki tidak memiliki daerah otonomi seperti Bodoland. Yang ada hanyalah dewan distrik lemah dan kontrol de facto berbasis komunitas serta milisi, bukan otonomi teritorial konstitusional. Selama konflik identitas di Manipur belum diselesaikan, kemungkinan Kuki memperoleh status seperti Bodoland masih sangat kecil, bahkan berpotensi memicu konflik yang lebih luas.
Ormas Etnis Lainnya
Di India, Kuki bukan satu-satunya kelompok etnis yang memiliki milisi non-negara. Fenomena ini cukup luas, terutama di India Timur Laut, serta beberapa wilayah lain yang mengalami konflik identitas, marginalisasi, dan lemahnya kontrol negara. Berikut gambaran aktor-aktor utamanya.
Kelompok Naga adalah contoh paling menonjol. Sejak 1950-an, berbagai faksi seperti NSCN-IM dan NSCN-K memiliki struktur militer yang rapi dan wilayah pengaruh lintas negara bagian serta Myanmar. Mereka bukan tentara negara, tetapi mampu mengontrol wilayah, memungut pajak, dan menjalankan hukum adat di daerah pedalaman.
Di Assam, etnis Bodo pernah membangun kekuatan bersenjata melalui kelompok seperti NDFB (National Democratic Front of Bodoland). Milisi ini muncul dari tuntutan otonomi yang berujung pada pembentukan Bodoland. Meski sebagian telah dilucuti melalui perjanjian damai, sejarah milisi Bodo sangat kuat.
Masih di Assam, etnis Karbi memiliki kelompok bersenjata seperti Karbi Longri N.C. Hills Liberation Front (KLNLF). Mereka memperjuangkan otonomi di wilayah perbukitan Karbi Anglong, dengan pola gerilya dan struktur milisi etnis yang jelas.
Kelompok Dimasa juga memiliki sejarah milisi, terutama Dima Halam Daogah (DHD). Milisi ini memanfaatkan identitas kerajaan Dimasa lama dan beroperasi untuk menuntut wilayah otonomi, sebelum sebagian besar dilucuti dalam kesepakatan dengan pemerintah India.
Di Manipur dan wilayah sekitarnya, etnis Meitei memiliki berbagai milisi seperti UNLF, PLA, dan PREPAK. Berbeda dari Kuki yang berbasis pegunungan, milisi Meitei berakar di lembah Imphal dan sering membawa agenda nasionalisme Manipur.
Selain itu, terdapat kelompok Hmar, Zomi, dan Paite, yang meskipun berkerabat dengan Kuki, memiliki milisi sendiri atau faksi bersenjata terpisah. Fragmentasi etnis ini membuat satu wilayah bisa dihuni beberapa milisi sekaligus.
Di Tripura, etnis Tripuri pernah membangun kelompok bersenjata seperti NLFT (National Liberation Front of Tripura) untuk menentang dominasi pendatang Bengali. Walau kini melemah, keberadaan mereka pernah sangat signifikan.
Di wilayah India tengah dan timur, milisi Maois/Naxalite juga beroperasi sebagai aktor non-negara bersenjata. Meski berbasis ideologi kiri, mereka sering merekrut dari komunitas adat (Adivasi), sehingga di banyak tempat berfungsi sebagai “milisi etno-sosial”.
Di Kashmir, kelompok bersenjata lokal juga kerap dibingkai sebagai milisi identitas, meski dimensinya lebih religius dan geopolitik. Mereka bukan lembaga negara, tetapi menguasai wilayah dan memiliki struktur militer tersendiri.
Kesimpulannya, keberadaan milisi etnis di India adalah fenomena sistemik, bukan anomali Kuki semata. Ia lahir dari kombinasi geografi frontier, sejarah kolonial, konflik identitas, dan kompromi politik negara. India bukan negara gagal, tetapi di wilayah pinggirannya, kekuasaan sering dibagi secara informal antara negara dan aktor etnis bersenjata.
Sumber Pendapatan
Sebuah laporan menggambarkan cara kerja ekonomi politik milisi etnis di Manipur, khususnya kelompok bersenjata Kuki yang secara formal sudah berada di bawah skema damai Suspension of Operations (SoO), tetapi secara faktual masih beroperasi sebagai aktor bersenjata.
Penjelasannya bisa dipahami dalam beberapa lapisan.
Pertama, SoO bukan pelucutan senjata penuh, melainkan gencatan senjata bersyarat. Kelompok Kuki yang menandatangani SoO secara hukum masih diakui sebagai “mantan pemberontak aktif” yang dikarantina di kamp, diberi uang saku, logistik, dan paket rehabilitasi. Negara berharap dengan insentif ini, mereka berhenti bertempur. Namun, struktur komando, loyalitas internal, dan jaringan lapangan tetap utuh.
Kedua, laporan soal pungutan ilegal lebih dari Rs 10 crore per bulan menunjukkan bahwa milisi Kuki berfungsi seperti otoritas pajak bayangan. Mereka memungut “kontribusi keamanan” dari warga, pedagang, kontraktor, bahkan jalur lintas batas. Ini bukan perilaku kriminal acak, tetapi praktik sistematis layaknya negara paralel.
Ketiga, rincian nominal pungutan per faksi (KNF, KLA, KRA, KRF, dan seterusnya) memperlihatkan bahwa setiap kelompok memiliki wilayah pengaruh dan basis pembayar sendiri. Semakin kuat faksi dan semakin luas kontrolnya, semakin besar tarif yang mampu mereka tarik. Ini mencerminkan kompetisi internal ala kartel, bukan gerakan bersatu.
Keempat, meskipun menerima paket rehabilitasi dari negara, dana tersebut tidak menggantikan sumber ekonomi lama, melainkan hanya menjadi tambahan. Uang negara dipakai untuk biaya hidup dasar, sementara pungutan ilegal dipakai untuk membeli senjata, amunisi, drone, komunikasi, dan logistik militer.
Kelima, laporan bahwa dana ini digunakan untuk menyerang Meitei dan memperluas kontrol wilayah menunjukkan bahwa SoO telah menyimpang dari tujuan awalnya. Alih-alih menghentikan kekerasan, ia menciptakan ruang aman bagi milisi untuk berkonsolidasi tanpa tekanan militer langsung.
Keenam, klaim bahwa milisi “tidak takut pada Tentara India atau pasukan paramiliter” berakar pada perlindungan politik dan sensitivitas etnis. Negara pusat sering menahan diri karena operasi keras dapat memicu eskalasi etnis, tekanan HAM internasional, dan instabilitas regional di perbatasan Myanmar.
Ketujuh, tuduhan bahwa dana haram ini memicu narkoba, perdagangan manusia, dan korupsi internal bukan hal baru di konflik berkepanjangan. Ketika kelompok bersenjata menguasai arus uang besar tanpa akuntabilitas, mereka berkembang menjadi ekonomi perang, bukan lagi gerakan politik murni.
Kedelapan, perpecahan antara KNO dan UPF, serta munculnya faksi independen, adalah konsekuensi langsung dari ekonomi tersebut. Ketika uang dan senjata melimpah, loyalitas ideologis melemah, digantikan oleh persaingan antar elite milisi. Ini mirip perpecahan kartel narkoba saat pasar tumbuh besar.
Kesembilan, kritik terhadap sistem rehabilitasi menyoroti kelemahan utama kebijakan India di Timur Laut: negosiasi tanpa kontrol nyata di lapangan. Negara membayar damai di atas kertas, tetapi membiarkan otoritas koersif tetap berada di tangan aktor non-negara.
Kesepuluh, secara keseluruhan, laporan ini menjelaskan mengapa konflik Manipur sulit reda. Milisi Kuki bukan sekadar kelompok bersenjata, tetapi bagian dari ekosistem kekuasaan lokal yang mencampur identitas etnis, ekonomi ilegal, dan negosiasi politik. Selama SoO tidak disertai transparansi, pelucutan senjata nyata, dan reformasi pemerintahan lokal, pola seperti ini akan terus berulang.




Tidak ada komentar