Breaking News

Prediksi Buly Israel ke Turki dan Mesir setelah Qatar

Setelah insiden serangan Israel ke Doha, yang disebut Qatar sebagai terorisme negara, ruang media sosial dunia Arab langsung dipenuhi spekulasi dan prediksi baru. Banyak warganet berasumsi bahwa target Israel selanjutnya bisa saja bukan hanya Suriah atau Lebanon, tetapi negara dengan pengaruh besar seperti Turki dan Mesir. Fenomena ini memunculkan diskusi hangat, antara kekhawatiran, analisis geopolitik, hingga teori konspirasi.

Doha selama ini dikenal sebagai tuan rumah diplomasi Timur Tengah, termasuk dalam isu Palestina. Kehadirannya yang dianggap netral dan sekaligus proaktif dalam memberi ruang politik bagi warga Palestina menjadikan serangan ke wilayah ini mengejutkan banyak pihak. Tidak heran, publik Arab menilai langkah Israel itu membuka babak baru dalam pola eskalasi regional.

Turki langsung menjadi salah satu nama yang ramai diperbincangkan. Negara yang dipimpin Presiden Recep Tayyip Erdogan itu selama ini vokal mengecam genisida Israel ke Gaza dan menyebut operasi pembantaaian Israel setiap hari ke Gaza sebagai kejahatan perang. Narasi keras semacam itu dianggap kurang menghormati hegemoni Israel yang merasa sudah sukses membantai 80 ribu korban tewas di Gaza dan tidak ada yang berhasil menghentikannnya bahkan oleh DK PBB sekalipun. Sampai sekarang warga Gaza tetap dicekik dengan kelaparan.

Mesir pun tak luput dari prediksi. Negara ini memang memiliki perjanjian damai dengan Israel sejak lama, namun posisinya sebagai mediator konflik dan pengelola perbatasan Rafah kerap menimbulkan gesekan. Spekulasi bahwa Israel bisa saja melancarkan seragan rudal ke Mesir berkembang seiring meningkatnya ketegangan di jalur bantuan kemanusiaan.

Media sosial memainkan peran besar dalam memperkuat dugaan ini. Setiap kabar ledakan, gambar pasukan, atau isu intelijen dengan cepat diterjemahkan menjadi bahan diskusi soal kemungkinan eskalasi. Narasi "siapa sasaran berikutnya" seakan menjadi tren baru, dengan Turki dan Mesir di garis depan wacana.

Namun secara realistis, serangan terbuka terhadap Turki bukanlah langkah sederhana. Ankara adalah anggota NATO, dan setiap serangan ke wilayahnya akan memicu klausul pertahanan kolektif yang membawa risiko konfrontasi langsung dengan aliansi Barat. Faktor inilah yang membuat sebagian pengamat menilai prediksi warganet hanya sebatas spekulasi emosional.

Mesir berada pada posisi berbeda. Hubungannya dengan Israel lebih pragmatis, terutama dalam bidang keamanan dan pengelolaan perbatasan Gaza. Mesir bahkan bekerja sama dalam mencegah penyelundupan senjata. Karena itu, menyerang Mesir justru berpotensi merusak stabilitas perjanjian damai yang sudah berjalan puluhan tahun.

Meski begitu, bukan berarti ancaman sama sekali hilang. Para analis menyebut, serangan non-konvensional seperti operasi intelijen, pembunuhan tokoh yang dianggap mengganggu, atau bahkan serangan siber lebih mungkin dilakukan. Langkah-langkah ini bisa memberi pesan politik tanpa harus menanggung konsekuensi besar di level militer. Israel memang sering melakukan serangan teroe ke tetangganya.

Dalam kasus Turki, dugaan operasi rahasia terhadap tokoh Palestina yang bermukim di negara itu sering mencuat. Jika Israel memilih jalur ini, konsekuensinya akan berbeda dibandingkan dengan serangan udara terbuka. Ankara mungkin mengajukan protes keras, namun eskalasi militer penuh bisa dihindari.

Sementara di Mesir, risiko yang lebih nyata justru ada di wilayah perbatasan Sinai. Kawasan ini kerap menjadi arena operasi kelompok bersenjata. Jika Israel melakukan operasi terbatas dengan alasan keamanan, publik bisa menafsirkannya sebagai serangan terhadap Mesir. Prediksi semacam ini memperkuat narasi ketidakpastian regional.

Dari sisi Israel, keuntungan taktis dari menyerang Turki atau Mesir secara terbuka dinilai minim. Sebaliknya, biayanya sangat tinggi, baik secara diplomatik maupun militer. Isolasi internasional bisa makin parah, kerja sama dengan sekutu terganggu, dan risiko perang terbuka tak terhindarkan.

Kalkulasi semacam itu menjelaskan mengapa kemungkinan serangan besar ke Turki atau Mesir dinilai sangat rendah. Namun publik tetap gelisah karena pola Israel sebelumnya menunjukkan bahwa negara itu berani menyerang target di luar negeri, mulai dari Suriah, Irak, hingga Iran.

Pola serangan lintas batas inilah yang menjadi bahan bakar utama spekulasi. Bagi sebagian warganet, jika Israel berani menyerang Suriah berkali-kali, apa yang bisa menghalangi langkah serupa terhadap Turki atau Mesir, apalagi setelah Qatar yang dianggap aman ternyata tidak luput dari serangan.

Meski begitu, perbedaan konteks tetap penting. Suriah bukan anggota NATO, sementara Mesir adalah mitra keamanan penting bagi Amerika Serikat. Posisi dua negara ini membuat kalkulasi Israel harus jauh lebih hati-hati dibandingkan serangan ke Suriah.

Respons Turki dan Mesir juga patut diperhatikan. Ankara telah menyatakan kekhawatiran serius atas eskalasi, sementara Kairo menekankan pentingnya menjaga stabilitas kawasan. Dua sikap ini menegaskan bahwa mereka sadar menjadi pusat perhatian setelah serangan Doha.

Bagi publik Arab, ketakutan akan eskalasi ini erat kaitannya dengan solidaritas terhadap Palestina. Turki dan Mesir dilihat sebagai benteng penting dalam menekan Israel. Jika keduanya diserang, maka pesan yang terbaca adalah bahwa Israel ingin melemahkan dukungan terhadap Palestina di level negara.

Namun hingga kini belum ada tanda-tanda pengerahan militer besar Israel ke arah Turki atau Mesir. Tidak ada laporan resmi pergerakan pasukan atau pernyataan langsung yang mengindikasikan rencana serangan. Hal ini menunjukkan bahwa spekulasi warganet lebih banyak didorong oleh kecemasan dibandingkan data faktual.

Situasi di Doha tetap menjadi titik balik penting. Serangan itu memperlihatkan bahwa bahkan negara dengan peran diplomasi tinggi pun bisa menjadi sasaran. Konteks inilah yang membuat warganet merasa skenario serupa mungkin meluas ke Turki dan Mesir.

Meski masih berupa prediksi publik, narasi ini berhasil mengguncang wacana geopolitik regional. Turki dan Mesir kini terpaksa menanggapi rumor, memperkuat pertahanan, dan menyiapkan respons diplomatik agar tidak menjadi target nyata dari eskalasi yang ditakuti.

Pada akhirnya, apa yang terlihat adalah dua lapisan realitas. Di lapisan pertama, publik Arab menghidupi kekhawatiran akan serangan Israel ke Turki dan Mesir setelah Doha. Di lapisan kedua, analisis geopolitik menunjukkan bahwa serangan terbuka tidak realistis, meski ancaman operasi rahasia atau serangan siber tetap ada. Dua lapisan inilah yang kini berjalan beriringan di tengah gejolak kawasan.

Tidak ada komentar